Berhenti Menulis
November 12, 2017
Ia menatap murung monitor laptopnya. Gagal lagi, entah sudah berapa
puluh kegagalan yang ia tuai, rasanya ia sudah muak.
Sejak kecil ia memang senang membaca, hobinya inilah yang
menggerakkanya untuk mulai menulis. Saat kecil tulisannya selalu menuai pujian ibunya,
tetapi sampai sekarang belum pernah ia memenangkan lomba menulis. Entahlah,
mungkin ia memang tidak berbakat. Mungkin selama ini ibunya berdusta, mungkin
cerpen buatannya memang tidak sebagus itu.
“Kenapa kak?” tanya adiknya yang tak kuasa menahan rasa ingin tahu,
melihat raut suram kakaknya yang seolah menguarkan aura gelap, kontras dengan
terangnya layar laptop.
Karin hanya menggeleng. Bisa habis ia nanti, adik usilnya itu
selalu menggodanya setiap kali ada kesempatan. Ia kemudian mematikan laptopnya
lalu dengan langkah gontai menyeret kakinya ke kamar. Ia ingin sendiri. Tak
dihiraukannya suara sang ibu yang menyuruhnya makan.
*
Sudah tiga hari ini Finza
heran melihat tingkah laku Karin, sahabatnya. Karin selalu terlihat murung,
mukanya datar tanpa ekspresi, terkadang bahkan Finza
mendapati sahabatnya ini sedang melamun.
“Karin?” Finza memanggil
Karin, tangan kirinya menepuk pelan bahu Karin, tangan yang lainnya menggenggam
sebuah majalah remaja. Karin tetap tak bergeming, terlalu asyik melamun
rupanya. Finza menepuk bahu Karin lagi, kali ini lebih kencang.
“Eh?” Karin terkejut, “kenapa?”
“Kamu yang kenapa? Seneng banget ngelamun,” Finza
mendelik sebal, “nih, kamu coba deh masukin tulisan kamu ke majalah, honornya
lumayan.”
“Duh, gimana ya… Kayaknya aku mau berhenti nulis, aku udah muak,
setiap ikut lomba nulis pasti gagal, capek,” tuturnya sedih.
“Ya ampun, emang kamu udah berapa kali ngirim tulisan kamu?”
“Hmmm…” Karin terlihat berpikir, ia menghitung dalam hati,
satu…dua…tiga.. “Dua puluh delapan kali,” jawabnya.
“Jadi hanya karena kamu gagal 28 kali, kamu mau menyerah gitu aja?
Aku pikir kamu ga sedangkal itu. Kamu tahu? Berapa kali Thomas Alva Edison
gagal ketika coba menemukan bola lampu pijar? 10083 kali! Dan kamu? Hanya
karena kamu gagal 28 kali kamu mau menyerah?”
“Setiap orang itu beda Sa! Aku bukan Thomas Alva Edison yang gak
masalah gagal berkali-kali, aku udah capek!” Ujar Karin kemudian berlalu, ia
malas berdebat. Ia ingin sendiri.
*
Sebulan sudah Karin dan Finza
melakukan aksi mogok bicara satu-sama lain, mereka berdua mempertahankan egonya
masing-masing. Karin yang masih murung karena tidak pernah menang lomba cerpen
dan Finza
yang jengkel karena merasa Karin masih kurang berusaha dan terlalu cepat
menyerah.
“Ka Kariiiiinnnn,” seru adiknya heboh, padahal ia baru sampai
rumah, tes lari tadi mengerahkan hampir seluruh tenaganya, belum lagi
belakangan ini ia memang banyak pikiran.
“Apa sih?! Berisik!” serunya marah.
“Kenapa sih ka? Sensi amat,” ledek adiknya, “eh, selamat ya
kaaaaa.”
Karin masih dikuasai emosi, dengan langkah tegap ia masuk kamar dan
melempar tasnya. Ia membenamkan dirinya di kasur. Menangis…..
“Lho, kakak kenapa?”
Karin menggeleng lemah sambil masih membenamkan kepalanya di
bantal, air matanya tak mau berhenti menetes. Setelah 10 menit menangis, baru
ia bersuara.
“Aku capek dek, aku gamau nulis lagi,” katanya memulai cerita, ia
menceritakan semuanya mulai dari kegagalannya, Thomas Alva Edison dan
pertengkarannya dengan Finza, ajaibnya sang
adik yang selama ini selalu menggodanya, kini diam mendengarkan.
“Jadi kakak mau berhenti nulis?” tanya adiknya, diiringi anggukan
Karin, “serius?”
“Iya, aku serius,” Karin menekankan.
“Tapi kenapa tulisan kakak ada di majalah?” adiknya menyodorkan
majalah yang sedari tadi dipegangnya.
Karin segera merebutnya, ia melongo. ‘Karin Aulia’, tercetak jelas
di bawah judul cerpennya. Cerpennya di muat! Tapi tunggu, ia tidak ingat pernah
mengirimkan cerpennya. Sepotong nama terbersit di pikirannya. Finza!
Dengan tergesa Karin mengambil ponselnya, menghubungi Finza.
Ketika panggilannya tersambung suara di sebrang sana menyambutnya.
“Jadi, berhenti nulis?”
***
BTW
Cerpen ini gue tulis entah berapa tahun lalu, pas masih SMA. Ceritanya gue bikin untuk melengkapi tugas bahasa indonesia saat itu. Eh ketemu lagi hari ini, 12 November 2017, setelah gue baca, ternyata oke juga. Hehehehe
***
BTW
Cerpen ini gue tulis entah berapa tahun lalu, pas masih SMA. Ceritanya gue bikin untuk melengkapi tugas bahasa indonesia saat itu. Eh ketemu lagi hari ini, 12 November 2017, setelah gue baca, ternyata oke juga. Hehehehe
0 comments