Pluviophile
December 16, 2017Prolog
Hujan adalah nyanyian alam paling indah. Setidaknya untuk gadis yang termangu di balik jendela itu. Manik matanya mengikuti bulir air yang mengalir turun di kaca jendela. Sayup musik terdengar dari radio di ujung ruangan. Masih kurang secangkir coklat panas untuk melengkapi harinya.
Ting!
Bunyi notifikasi dari telepon genggamnya, tanda seseorang mengiriminya pesan singkat. Tak ia hiraukan. Ia terlalu sibuk memandangi indahnya hujan.
Ting!
Ting!
Ting!
Ting!
Telepon genggamnya lantas bergetar. Siapapun yang mengiriminya pesan tadi kini sudah hilang kesabaran dan akhirnya memutuskan untuk langsung menelfon si gadis yang masih menatap keluar jendela.
"Halo," suara lembut gadis itu mengisi ruangan. Volume radio ia kecilkan.
"Masih dirumah, besides it's raining," sambungnya.
"No, there are going to be so many people there, so no."
"You know how much I hate the crowds," dalihnya.
"Okay, bye," gadis itu memutuskan sambungan telepon, menatap layar ponsel yang memantulkan bayangannya. Bayangan gadis 18 tahun dengan rambut sebahu dan mata yang membulat besar. Dipalingkannya pandangan kembali ke jendela. Hujan hampir berhenti. Kini rintiknya tidak sederas tadi.
***
Writer's note:
Okaaayyyy, setelah pergelutan panjang dalam pikiran, akhirnya saya memutuskan untuk kembali menelurkan cerita. Gak tahu sih akan berakhir seperti apa, entah akan selesai atau berakhir terbengkalai seperti cerita-cerita terdahulu, untuk sekarang, let's just go with the flow. ehehe.
0 comments